Jackiecilley.com – Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Menurut data terbaru dari Bappenas, kebutuhan pendanaan hingga 2030 meningkat secara signifikan pasca pandemi, mencapai sekitar Rp122.000 triliun, dengan celah pembiayaan mencapai Rp24.000 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak cukup untuk menjangkau semua aspek pembangunan yang diperlukan.
Dalam konteks ini, sektor filantropi di Indonesia dituntut untuk berperan lebih aktif dalam mendukung pencapaian SDGs. Survei Indonesia Philanthropy Outlook 2024 menunjukkan bahwa sekitar 90 persen lembaga filantropi telah menyesuaikan program kerjanya dengan target-target SDGs, menandakan kesadaran yang tinggi untuk berkontribusi dalam pembangunan yang lebih luas. Namun, banyak lembaga filantropi mengalami hambatan akibat regulasi yang ketinggalan zaman, terutama Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang.
Regulasi ini tidak hanya mempersulit proses perizinan tetapi juga menyebabkan birokrasi yang lamban. Proses izin yang memakan waktu 1-3 bulan seringkali tidak realistis, terutama dalam situasi darurat. Hal tersebut menyebabkan banyak program filantropi terhambat, mengurangi peluang mereka untuk berkontribusi secara efektif.
Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) berserta lebih dari 100 anggotanya telah membentuk Aliansi Filantropi untuk Akuntabilitas Sumbangan. Mereka tidak hanya mengkritik regulasi yang ada, tetapi juga menawarkan solusi untuk mendorong reformasi yang lebih mendukung peran filantropi dalam pembangunan. Dengan kerangka regulasi yang tepat, filantropi dapat berfungsi tidak hanya sebagai pendonor, tetapi juga sebagai inovator dalam mencari solusi yang inklusif dan berkelanjutan.
Mendorong revisi regulasi PUB harus menjadi prioritas untuk mobilisasi sumber daya yang efektif, sehingga Indonesia dapat lebih cepat mencapai target SDGs dan menutup celah pembangunan yang ada.